Baru Mengenal…(1)

Sebut saja aku lahir dan dibesarkan di sebuah kota agak dekat dengan sentranya “budaya” katanya. Dua puluh satu tahun yang lalu wujudku mulai menapak bumi, merengek dan menangis baru bisa begitu. Lambat laun pun bertumbuh layaknya anak pada seumuranku. Akan tetapi kata seseorang yang paling berjasa membuatku hadir di dunia, aku kecil sudah pintar berbicara dari pada aku kecil yang mulai berjalan. Tetapi aku berkembang pesat dari aku bayi hingga aku sekarang. Bersandang status mahasiswa semester akhir yang tinggal menunggu skripsi selesai dikerjakan.
Aku selepas sekolah tingkat lanjut mempunyai angan-angan keluar dari kungkungan kota budaya. Sebuah kota kecil yang telah kukenal sejak aku masih dalam pangkuan. Begitulah kiranya. Sebab sedari dulu ketika ingin betandang ke rumah simbah kota ini selalu terlewati. Tak banyak yang kutahu tentang kota ini.
Mulai kujejaki kotamadya yang merupakan pecahan dari eks karesidenan Surakarta. Dulu adalah satu daerah karesidenan yang terdiri dari beberapa wilayah yang ada di sekitarnya. Yaitu Sukoharjo, Boyolali, wonogiri, Sragen, Klaten, dan Surakarta sendiri. Mungkin karena jejakku beranjak dari sini, bolehlah suara kuacungkan padanya. Kunilai, meski kecil tapi dia adalah magnet yang terkuat di antara lainnya. Semua pusat peredaran hidup manusia bersumbu di sini.
Sebenarnya Solo atau Surakarta nama yang lebih benar untuk kota pinggir Bengawan Solo ini? Masih tanda tanya. Orang-orang yang bernaung di luar daerah pasti menyebutnya Solo. Sedang di pusat kotanya sendiri nama Surakarta terpampang di mana-mana. Namun, warga penghuninya toh asik-asik saja dengan apapun orang menyebut kota milik mereka ini. Adalah Solo yang memiliki kesamaan dengan kota-kota di Jawa pada umumnya. Setting kraton sebagai senternya, diapit dua alun-alun besar dan tak lupa masjid Agung yang berdiri kokoh di pelatarannya.
Nuansa Jawa begitu kental menyelimuti aroma Solo berbaur dengan warna lain yang turut berotasi bersama menumbuhkembangkan Solo. Fenomena raja kembar yang berebut tahta kraton Solo ikut berpartisipasi di dalamnya. Ironi, ketika perebutan tersebut hanyalah peperangan tanpa upah pasti. Yang ada hanyalah sakit hati, sakit jiwa, raga karena yang terkorban lagi-lagi itu. Namun atmosfer para abdi seakan tersihir oleh karisma tanpa alasan yang mengalir kuat lewat raja-raja Jawa. Seakan tak pernah sadar kejayaan kerajaan telah usai beratus-ratus tahun lalu. Tak mau tahu bahwa ini adalah negeri dengan mengusung republik dan presiden yang menjadi kepala pemerintahannya bukan raja. Tetapi itu adalah dunia luar. Taat pada raja serta menjalankan segala titahnya adalah harga mati. Meski hidup serba pas-pasan harus menghantui setiap detak mereka berjalan. Aristokrat yang menjijikkan, begitu kiranya mengingat kebencian Pramudya Ananta Toer terhadap Jawa, Jawanisme, Jawanisasi. Bentuk feodalisme yang tak memiliki sedikitpun adab dan jiwa kemanusiaan.
Wah, wah,.. sepertinya Pramisme merasukiku. Maklum baru gila terserang virus-virusnya.
Solo yang sekarang adalah The Spirit of Java. Kota yang sedikit demi sedikit dibangun sebagai mercusuar perekonomian. Maka, gedong-gedong khas kota besar hadir begitu saja. Menjajari sepanjang perbatasan barat menuju timur berdiri beriring-iringan membuat barisan lurus seperti rel kereta. Yang masih baru, bersiaplah menyongsong apartemen-apartemen mewah yang berjubel di antara bangunan-bangunan itu. Budaya Jawa digaung-gaungkan sederet Solo. Dan alangkah indahnya pemerintah kota mengeluarkan semacam aturan untuk mengganti papan nama usaha, kantor, institusi, perusahaan dan sebagainya dengan huruf Jawa!!
Ada kalanya itu sangat menohok. Bisa dipastikan 70% penduduknya sendiri tak paham dan tak tahu apa dan bagaimana huruf kebanggaan orang Jawa ini. Ups dan aku adalah sekian persen yang paling kecil yang masuk daftar buta aksara Jawa. Sungguh terlalu….yang teringat hanyalah sebutan Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La… dan seterusnya. Untuk bentuk hurufnya “blank”.
Yah, eksotisme keindahan Solo tak pernah habis. Airnya seakan meluap laksana Grojogan Sewu kemudian mengalir melalui sungai-sungai kecil, menuruni bukit-bukit mengairi sawah-sawah, menghidupi segala aneka yang menamakan diri makhluk hidup.
Masih berlanjut…

Tinggalkan komentar